Halaman

    Social Items

Ads 728x90

Folklor Mitologi Legenda Upacara dan Lagu - Pada masyarakat praaksara atau masyarakat sebelum mengenal tulisan, memiliki tradisi atau cara yang unik untuk mengabadikan sejarah. Cara unik itu disebut dengan tradisi lisan. Karena pada masa praaksara masyarakat belum mengenal tulisan, maka untuk mengabadikan sejarah dengan lisan atau tidak dibukukan. Dari tradisi lisan untuk mengenang sejarah, terdapat beberapa istilah yang timbul, yaitu; folklor, mitologi, legenda, dongeng, upacara dan lagu.

Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Tradisi lisan yang menimbulkan istilah baru adalah hal yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu, simak keterangan di bawah ini;

A. Pengertian dan Penjelasan Folklor

Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (Tarunasena, 2009; 46).  Kata lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Tarunasena, 2009; 47).

Dalam buku Sejarah Kelas X karya Hendrayana (2009; 31-32) juga menyebutkan; Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Hendrayana, 2009; 31). Wardaya (2009; 27) berpendapat Folklore adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi belum dibukukan. Ada juga yang mengartikan folklore adalah sebuah cerita yang tokohnya adalah binatang, makhluk hidup di luar manusia, atau personifikasi abstrak yang mengambil perwatakan kemanusiaan dan berbicara serta bertingkah seperti manusia. 

Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklorenya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklore (Dwi A. Listiyani, 2009; 25). Folklore ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.

Jadi, Pengertian folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu Tarunasena, 2009; 47).

James Dananjaya (seorang ahli folklor) menyebutkan sembilan ciri folklore, yaitu sebagai berikut.

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan
Yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2. Folklor bersifat tradisional
Yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).

3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang bebeda
Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

4. Folklor bersifat anonim
Yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.

5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola
Cerita rakyat, misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis dan “seperti ular berbelit-belit” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutupan yang baku, seperti kata “sahibul hikayat … dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita … demikianlah konon” atau dalam dongeng Jawa banyak dimulai dengan kalimat Anuju sawijining dina (pada suatu hari), dan ditutup dengan kalimat : A lan B urip rukun bebarengan kayo mimi lan mintuna (A dan B hidup rukun bagaikan mimi jantan dan mimi betina).

6. Folklor mempunyai kegunaan (function)
Dalam kehidupan bersama suatu kolektif Cerita rakyat, misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

7. Folklor bersifat pralogis
Yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan sebagai.

8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu
Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu
Sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Ciri-ciri floklor di atas bersumber dari Buku Sejarah kelas X karya Marwan (2009; 37-38)

Menurut Jan Harold Brunvand dalam Danandjaja (2002) seorang ahli folklor AS, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya:

1.folkor lisan (verbal folklore)
2. folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
3. folklor bukan lisan (non verbal folklore).

Selanjutnya pengelompokan ini diuraikan oleh Danandjaja (2002), seperti yang terlihat pada table berikut ini:

1. Folklor Lisan
Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya murni secara lisan, yang terdiri dari:

a. Puisi rakyat
misalnya pantun. Contoh: wajik klethik gula Jawa (isih cilik sing prasaja)

b. Pertanyaan tradisional
seperti teka-teki. Contoh: Binatang apa yang perut, kaki, dan ekornya semua di kepala? jawabnya: kutu kepala.

c. Bahasa rakyat
seperti logat (Jawa, Banyumasan, Sunda, Bugis dan sebagainya), julukan (si pesek, si botak, si gendut), dan gelar kebangsawanan (raden masa, teuku, dan sebagainya) dan sebagainya.

d. Ungkapan tradisional
seperti peribahasa/pepatah. Contoh: seperti telur di ujung tanduk (keadaan yang gawat), koyo monyet keno tulup (seperti kera kena sumpit) yakni untuk menggambarkan orang yang bingung.

e. Cerita prosa rakyat, misalnya mite, legenda, dan dongeng

2. Folklor Sebagai Lisan
Adalah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, seperti: kepercayaan rakyat/takhayul, permainan rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, pesta rakyat dan sebagainya (Dwi A. Listiyan, 2009; 26).

Sumber lain menyebutkan, Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:
  • kepercayaan dan takhayul;
  • permainan dan hiburan rakyat setempat;
  • teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
  • tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
  • adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
  • upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
  • pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

3. Folklor Bukan Lisan
Adalah folklore yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Contoh: arsitektur rakyat (bentuk rumah Joglo, Limasan, Minangkabau, Toraja, dsb); kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan dan sebagainya; di mana masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:
  • arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
  •  seni kerajinan tangan tradisional,
  • pakaian tradisional;
  • obat-obatan rakyat;
  • alat-alat musik tradisional;
  • peralatan dan senjata yang khas tradisional;
  • makanan dan minuman khas daerah.

B. Pengertian dan Penjelasan Mitologi

Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci.Jadi, mitologi adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Kata lain dari mitologi adalah "mite". Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita (Dwi A. Listiyani, 2009; 26). Mite selalu ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain.

Selain mite, istilah lain yang sama dengan mitologi adalah mitos. Seperti yang disebutkan oleh Hendrayana dalam buku sejarah (2009; 35); Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos pada umumnya mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. 

Ciri penting dari mitologi ialah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita (Tarunasena, 2009; 48). Tokoh yang ditampilkan dalam mitologi biasanya berupa para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa yang dikisahkan dalam mitologi berupa terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya. Selain itu, mitologi juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan dewa, hubungan kekerabatan para dewa, kisah perang para dewa, dan sebagainya.

Cerita tentang sesuatu hal yang berbentuk mitologi pada setiap daerah terkadang ada yang sama, tetapi ada pula cerita itu yang hanya dimiliki oleh daerah tersebut (Tarunasena, 2009; 48). Salah satu cerita yang isinya sama, yaitu cerita tentang asal usul beras yang dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Hampir seluruh daerah di Indonesia, mitologi tentang beras selalu dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Walaupun tema ceritanya sama, yaitu Dewi Sri, tetapi setiap daerah memiliki cerita yang berbeda tentang tokoh Dewi Sri ini.

Cerita mitologi tentang Dwi Sri adalah cerita pada masa praaksara atau masa di mana masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Kita tidak bisa melacak dengan menggunakan sumber-sumber tertulis, sebab tidak ditemukan sumber-sumbernya. Yang kita temukan adalah suatu cerita rakyat tentang Dewi Sri dalam bentuk tradisi lisan. Cerita ini sudah mengalami pewarisan dari generasi ke generasi. Bahkan sampai sekarang di beberapa daerah, tokoh Dewi Sri dianggap sebagai dewi yang memberi kesuburan pada penanaman padi, sehingga kalau habis panen diadakan upacara sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Dewi Sri.

C. Ciri-Ciri dan Jenis-Jenis Legenda

Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory) (Hendrayana, 2009; 37). Pendapat lain menyatakan, Legenda adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi yang ceritanya dihubungkan dengan tokoh sejarah, telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan keistimewaan tokohnya (Wardaya, 2009; 28).

Legenda sering dipandang tidak hanya merupakan cerita belaka namun juga dipandang sebagai “sejarah” kolektif, namun hal itu juga sering menjadi perdebatan mengingat cerita tersebut karena kelisanannya telah mengalami distorsi (Marwan, 2009; 41). Maka, apabila legenda akan dijadikan bahan sejarah harus dibersihkan dulu dari unsur-unsur folklornya. Moeis menyatakan legenda juga bukan semata-mata cerita hiburan, namun lebih dari itu dituturkan untuk mendidik manusia serta membekali mereka terhadap ancaman bahaya yang ada dalam lingkungan kebudayaan.

Dalam buku Sejarah Kelas X karya Tarunasena (2009; 49), menyebutkan bahwa; Legenda merupakan cerita rakyat yang memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut.

  1. Oleh yang empunya cerita dianggap sebagai suatu kejadian yang sungguhsungguh pernah terjadi.
  2. Bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Tokoh utama dalam legenda adalah manusia.
  3. “Sejarah” kolektif, maksudnya sejarah yang banyak mengalami distorsi karena seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya.
  4. Bersifat migration yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
  5. Bersifat siklus, yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau kejadian tertentu, misalnya di Jawa legenda-legenda mengenai Panji.

Kemudian, Yus Rusyana (2000) mengemukakan beberapa ciri legenda, yaitu:
  1. Legenda merupakan cerita tradisional karena cerita tersebut sudah dimiliki masyarakat sejak dahulu.
  2. Ceritanya biasa dihubungkan dengan peristiwa dan benda yang berasal dari masa lalu, seperti peristiwa penyebaran agama dan benda-benda peninggalan seperti mesjid, kuburan dan lain-lain.
  3. Para pelaku dalam legenda dibayangkan sebagai pelaku yang betul-betul pernah hidup pada masyarakat lalu. Mereka itu merupakan orang yang terkemuka, dianggap sebagai pelaku sejarah, juga dianggap pernah melakukan perbuatan yang berguna bagi masyarakat.
  4. Hubungan tiap peristiwa dalam legenda menunjukan hubungan yang logis.
  5. Latar cerita terdiri dari latar tempat dan latar waktu. Latar tempat biasanya ada yang disebut secara jelas dan ada juga yang tidak. Sedangkan latar waktu biasanya merupakan waktu yang teralami dalam sejarah.
  6. Pelaku dan perbuatan yang dibayangkan benar-benar terjadi menjadikan legenda seolah-olah terjadi dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya. Sejalan dengan hal itu anggapan masyarakat pun menjadi seperti itu dan melahirkan perilaku dan perbuatan yang benar-benar menghormati keberadaan pelaku dan perbuatan dalam legenda.


Adapun jenis-jenis legenda adalah sebagai berikut;

1. Legenda Keagamaan (religious legends)
Legenda yang ceritanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan disebut dengan legenda keagamaan. Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi lisan. Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

2. Legenda Alam Gaib (supernatural legends)
Legenda ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat. Jadi, legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam gaib, dan sebagainya.

Contoh legenda alam gaib misalnya, di Bogor Jawa Barat ada legenda tentang mandor Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di Kebun Raya. Menurut kepercayaan penduduk setempat, hal itu disebabkan ia telah melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan Pajajaran. Pintu gerbang itu, menurut kepercayaan penduduk setempat, terletak di salah satu tempat di kebun raya.

3. Legenda Perseorangan (personal legends)
Legenda perseorangan menceritakan tokoh tertentu yang dianggap pernah ada dan terjadi, misalnya Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatra, Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana dan Layonsari dari Bali.

Jadi, Legenda ini adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Contoh legenda ini misalnya tokoh Panji di Jawa Timur. Menurut legenda Panji adalah seorang putra Kerajaan Kuripan (Singhasari) di Jawa Timur. Dia senantiasa kehilangan istrinya. Cerita tentang tokoh Panji selalu bertemakan perihal pencarian istrinya yang telah menyatu atau menjelma menjadi wanita lain.

4. Legenda Setempat (local legends)
Legenda lokal adalah legenda yang berhubungan dengan nama tempat terjadinya gunung, bukit, danau, dan sebagainya. Misalnya, legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, Sangkuriang (legenda Gunung Tangkuban Parahu) di Jawa Barat, Rara Jonggrang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ajisaka di Jawa Tengah, dan Desa Trunyan di Bali.

Legenda ini adalah legenda yang ceritanya berhubungan erat dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, dan sebagainya. Di Jawa Barat terdapat legenda setempat misalnya legenda tentang asal usul nama Kuningan. Tempat ini merupakan suatu kabupaten yang letaknya di lereng Gunung Ceremai. Legenda asal usul nama Kuningan dikaitkan dengan kehadiran seorang tokoh penyebar Islam, yaitu Sunan Gunung Jati.

D. Dongeng

Danandjaja mengatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Selain itu dongeng juga sering disebut cerita pendek kolektif kesusastraan lisan.

Jenis-jenis dongeng adalah sebagai berikut;

1. Dongeng Binatang
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang, baik binatang peliharaan maupun binatang liar.

2. Dongeng Biasa
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang populer adalah yang bertipe ”Cinderella”, yaitu seorang wanita yang tidak ada harapan (unpromissing heroin). Dongeng biasa yang bertipe Cinderella ini bersifat universal karena tersebar ke segala penjuru dunia.

Dongeng juga memiliki beberapa ciri yang membedakannya dari dua bentuk cerita rakyat yang disebutkan terlebih dahulu. Adapun ciri-ciri dongeng menurut Rusyana dkk (2000) seperti terlihat pada bagan di bawah ini:

  1. Dongeng merupakan cerita tradisional yang terdapat di masyarakat sejak zaman dahulu.
  2. Peristiwa yang diceritakan menggambarkan peristiwa dahulu kala.
  3. Pelakunya dibayangkan manusia biasa seperti dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kebanyakan perbuatan biasa, akan tetapi ada juga yang melakukan hal-hal luar biasa atau keajaiban.
  5. Latar cerita dapat berupa tempat biasa yang ada di bumi ini atau juga latar yang bukan merupakan tempat biasa seperti kayangan atau tempat tinggal makhluk halus.
  6. Oleh masyarakatnya dongeng tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang pernah terjadi dan sebagai sesuatu kepercayaan.

E. Pengertian dan Penjelasan Upacara

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan (Wardaya, 2009; 29). Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.

1. Upacara Penguburan
Upacara penguburan merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menimbulkan kepercayaan bahwa roh orang meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal semasa hidupnya. Sewaktu-waktu roh tersebut dapat dipanggil untuk menolong masyarakat jika ada bahaya atau kesulitan.

2. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan dilaksanakan di tengah masyarakat sejak dahulu sampai sekarang. Perkawinan sekaligus mempertemukan dan mengawali hubungan dua keluarga yang saling bersahabat. Tiap-tiap daerah mempunyai adat berbeda-beda, seperti di daerah Minangkabau menganut garis keturunan matrilineal (garis ibu), sedangkan suku Batak, Bali, Jawa menganut garis patrilineal (garis keturunan lakilaki).

3. Upacara Pengukuhan Kepala Suku
Kedudukan kepala suku di masa lalu adalah besar sebab ia harus memiliki kesaktian, keahlian, pengalaman, dan pengaruh yang kuat karena kepala suku adalah pelindung kelompok sukunya dari berbagai ancaman. Kepala suku bahkan dianggap ahli dalam upacara pemujaan, upacara penempatan rumah, upacara pembukaan ladang, dan upacara adat lainnya.

F. Lagu-Lagu

Lagu-lagu daerah atau lagu rakyat adalah syair-syair yang ditembangkan dengan irama menarik dalam bentuk lisan. Lagu rakyat dikenal dengan sebutanfolksong. Lagu rakyat untuk anak-anak, misalnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah CublakCublak Suweng, Ilir-Ilir, dan Jamuran; di Jawa Barat adalah Cing Cangkeling; di Kalimantan Barat adalah lagu Cik-Cik Periok; di Bali dikenal lagu Meyong-Meyong. Lagu-lagu rakyat umum, misalnya, lagu Butet dari Batak yang dilantunkan dengan nada sedih, lagu Tenang Tanage dari Manggarai, Flores, dengan nuansa perenungan, dan lagu Kampuang nan Jauh di Mato dari daerah Sumatra Barat. Ada pula nyanyian religius yang dipadukan dengan tarian di daerah Aceh, yaitu Saman dan Seudati, dan di Nias ada lagu Hoho.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah; Folklor, mitologi, legenda dan lain-lain merupakan tradisi lisan untuk mengabadikan pengalaman seseorang. Tradisi lisan ini tedapat pada masa praaksara atau masa di mana masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan.

Itulah penjelasan dari folkor, mitologi, legenda, dongeng dan lain-lain. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan bagi kita semua.

Artikel Berkaitan:

Penjelasan Lengkap Folklor, Mitologi, Legenda, Dongeng, Upacara, dan Lagu

Folklor Mitologi Legenda Upacara dan Lagu - Pada masyarakat praaksara atau masyarakat sebelum mengenal tulisan, memiliki tradisi atau cara yang unik untuk mengabadikan sejarah. Cara unik itu disebut dengan tradisi lisan. Karena pada masa praaksara masyarakat belum mengenal tulisan, maka untuk mengabadikan sejarah dengan lisan atau tidak dibukukan. Dari tradisi lisan untuk mengenang sejarah, terdapat beberapa istilah yang timbul, yaitu; folklor, mitologi, legenda, dongeng, upacara dan lagu.

Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Tradisi lisan yang menimbulkan istilah baru adalah hal yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu, simak keterangan di bawah ini;

A. Pengertian dan Penjelasan Folklor

Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (Tarunasena, 2009; 46).  Kata lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Tarunasena, 2009; 47).

Dalam buku Sejarah Kelas X karya Hendrayana (2009; 31-32) juga menyebutkan; Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Kata folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain, berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Kata lore merupakan tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Dengan demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Hendrayana, 2009; 31). Wardaya (2009; 27) berpendapat Folklore adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi belum dibukukan. Ada juga yang mengartikan folklore adalah sebuah cerita yang tokohnya adalah binatang, makhluk hidup di luar manusia, atau personifikasi abstrak yang mengambil perwatakan kemanusiaan dan berbicara serta bertingkah seperti manusia. 

Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan folklorenya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklore (Dwi A. Listiyani, 2009; 25). Folklore ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat.

Jadi, Pengertian folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu Tarunasena, 2009; 47).

James Dananjaya (seorang ahli folklor) menyebutkan sembilan ciri folklore, yaitu sebagai berikut.

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan
Yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2. Folklor bersifat tradisional
Yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).

3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang bebeda
Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

4. Folklor bersifat anonim
Yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.

5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola
Cerita rakyat, misalnya, selalu mempergunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas” untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis dan “seperti ular berbelit-belit” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutupan yang baku, seperti kata “sahibul hikayat … dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita … demikianlah konon” atau dalam dongeng Jawa banyak dimulai dengan kalimat Anuju sawijining dina (pada suatu hari), dan ditutup dengan kalimat : A lan B urip rukun bebarengan kayo mimi lan mintuna (A dan B hidup rukun bagaikan mimi jantan dan mimi betina).

6. Folklor mempunyai kegunaan (function)
Dalam kehidupan bersama suatu kolektif Cerita rakyat, misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

7. Folklor bersifat pralogis
Yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan sebagai.

8. Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu
Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu
Sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Ciri-ciri floklor di atas bersumber dari Buku Sejarah kelas X karya Marwan (2009; 37-38)

Menurut Jan Harold Brunvand dalam Danandjaja (2002) seorang ahli folklor AS, folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya:

1.folkor lisan (verbal folklore)
2. folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
3. folklor bukan lisan (non verbal folklore).

Selanjutnya pengelompokan ini diuraikan oleh Danandjaja (2002), seperti yang terlihat pada table berikut ini:

1. Folklor Lisan
Folklore lisan adalah folklore yang bentuknya murni secara lisan, yang terdiri dari:

a. Puisi rakyat
misalnya pantun. Contoh: wajik klethik gula Jawa (isih cilik sing prasaja)

b. Pertanyaan tradisional
seperti teka-teki. Contoh: Binatang apa yang perut, kaki, dan ekornya semua di kepala? jawabnya: kutu kepala.

c. Bahasa rakyat
seperti logat (Jawa, Banyumasan, Sunda, Bugis dan sebagainya), julukan (si pesek, si botak, si gendut), dan gelar kebangsawanan (raden masa, teuku, dan sebagainya) dan sebagainya.

d. Ungkapan tradisional
seperti peribahasa/pepatah. Contoh: seperti telur di ujung tanduk (keadaan yang gawat), koyo monyet keno tulup (seperti kera kena sumpit) yakni untuk menggambarkan orang yang bingung.

e. Cerita prosa rakyat, misalnya mite, legenda, dan dongeng

2. Folklor Sebagai Lisan
Adalah folklore yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, seperti: kepercayaan rakyat/takhayul, permainan rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, pesta rakyat dan sebagainya (Dwi A. Listiyan, 2009; 26).

Sumber lain menyebutkan, Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:
  • kepercayaan dan takhayul;
  • permainan dan hiburan rakyat setempat;
  • teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
  • tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
  • adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
  • upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
  • pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

3. Folklor Bukan Lisan
Adalah folklore yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Contoh: arsitektur rakyat (bentuk rumah Joglo, Limasan, Minangkabau, Toraja, dsb); kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan dan sebagainya; di mana masing-masing daerah berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:
  • arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
  •  seni kerajinan tangan tradisional,
  • pakaian tradisional;
  • obat-obatan rakyat;
  • alat-alat musik tradisional;
  • peralatan dan senjata yang khas tradisional;
  • makanan dan minuman khas daerah.

B. Pengertian dan Penjelasan Mitologi

Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa, adat istiadat, dan konsep dongeng suci.Jadi, mitologi adalah cerita tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Kata lain dari mitologi adalah "mite". Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita (Dwi A. Listiyani, 2009; 26). Mite selalu ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain.

Selain mite, istilah lain yang sama dengan mitologi adalah mitos. Seperti yang disebutkan oleh Hendrayana dalam buku sejarah (2009; 35); Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kahyangan) pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos pada umumnya mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. 

Ciri penting dari mitologi ialah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita (Tarunasena, 2009; 48). Tokoh yang ditampilkan dalam mitologi biasanya berupa para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa yang dikisahkan dalam mitologi berupa terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya. Selain itu, mitologi juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan dewa, hubungan kekerabatan para dewa, kisah perang para dewa, dan sebagainya.

Cerita tentang sesuatu hal yang berbentuk mitologi pada setiap daerah terkadang ada yang sama, tetapi ada pula cerita itu yang hanya dimiliki oleh daerah tersebut (Tarunasena, 2009; 48). Salah satu cerita yang isinya sama, yaitu cerita tentang asal usul beras yang dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Hampir seluruh daerah di Indonesia, mitologi tentang beras selalu dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Walaupun tema ceritanya sama, yaitu Dewi Sri, tetapi setiap daerah memiliki cerita yang berbeda tentang tokoh Dewi Sri ini.

Cerita mitologi tentang Dwi Sri adalah cerita pada masa praaksara atau masa di mana masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Kita tidak bisa melacak dengan menggunakan sumber-sumber tertulis, sebab tidak ditemukan sumber-sumbernya. Yang kita temukan adalah suatu cerita rakyat tentang Dewi Sri dalam bentuk tradisi lisan. Cerita ini sudah mengalami pewarisan dari generasi ke generasi. Bahkan sampai sekarang di beberapa daerah, tokoh Dewi Sri dianggap sebagai dewi yang memberi kesuburan pada penanaman padi, sehingga kalau habis panen diadakan upacara sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Dewi Sri.

C. Ciri-Ciri dan Jenis-Jenis Legenda

Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena itu, legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory) (Hendrayana, 2009; 37). Pendapat lain menyatakan, Legenda adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi yang ceritanya dihubungkan dengan tokoh sejarah, telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan keistimewaan tokohnya (Wardaya, 2009; 28).

Legenda sering dipandang tidak hanya merupakan cerita belaka namun juga dipandang sebagai “sejarah” kolektif, namun hal itu juga sering menjadi perdebatan mengingat cerita tersebut karena kelisanannya telah mengalami distorsi (Marwan, 2009; 41). Maka, apabila legenda akan dijadikan bahan sejarah harus dibersihkan dulu dari unsur-unsur folklornya. Moeis menyatakan legenda juga bukan semata-mata cerita hiburan, namun lebih dari itu dituturkan untuk mendidik manusia serta membekali mereka terhadap ancaman bahaya yang ada dalam lingkungan kebudayaan.

Dalam buku Sejarah Kelas X karya Tarunasena (2009; 49), menyebutkan bahwa; Legenda merupakan cerita rakyat yang memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut.

  1. Oleh yang empunya cerita dianggap sebagai suatu kejadian yang sungguhsungguh pernah terjadi.
  2. Bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Tokoh utama dalam legenda adalah manusia.
  3. “Sejarah” kolektif, maksudnya sejarah yang banyak mengalami distorsi karena seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya.
  4. Bersifat migration yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
  5. Bersifat siklus, yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau kejadian tertentu, misalnya di Jawa legenda-legenda mengenai Panji.

Kemudian, Yus Rusyana (2000) mengemukakan beberapa ciri legenda, yaitu:
  1. Legenda merupakan cerita tradisional karena cerita tersebut sudah dimiliki masyarakat sejak dahulu.
  2. Ceritanya biasa dihubungkan dengan peristiwa dan benda yang berasal dari masa lalu, seperti peristiwa penyebaran agama dan benda-benda peninggalan seperti mesjid, kuburan dan lain-lain.
  3. Para pelaku dalam legenda dibayangkan sebagai pelaku yang betul-betul pernah hidup pada masyarakat lalu. Mereka itu merupakan orang yang terkemuka, dianggap sebagai pelaku sejarah, juga dianggap pernah melakukan perbuatan yang berguna bagi masyarakat.
  4. Hubungan tiap peristiwa dalam legenda menunjukan hubungan yang logis.
  5. Latar cerita terdiri dari latar tempat dan latar waktu. Latar tempat biasanya ada yang disebut secara jelas dan ada juga yang tidak. Sedangkan latar waktu biasanya merupakan waktu yang teralami dalam sejarah.
  6. Pelaku dan perbuatan yang dibayangkan benar-benar terjadi menjadikan legenda seolah-olah terjadi dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya. Sejalan dengan hal itu anggapan masyarakat pun menjadi seperti itu dan melahirkan perilaku dan perbuatan yang benar-benar menghormati keberadaan pelaku dan perbuatan dalam legenda.


Adapun jenis-jenis legenda adalah sebagai berikut;

1. Legenda Keagamaan (religious legends)
Legenda yang ceritanya berkaitan dengan kehidupan keagamaan disebut dengan legenda keagamaan. Legenda keagamaan adalah legenda orang-orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi lisan. Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

2. Legenda Alam Gaib (supernatural legends)
Legenda ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat. Jadi, legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam gaib, dan sebagainya.

Contoh legenda alam gaib misalnya, di Bogor Jawa Barat ada legenda tentang mandor Kebun Raya Bogor yang hilang lenyap begitu saja sewaktu bertugas di Kebun Raya. Menurut kepercayaan penduduk setempat, hal itu disebabkan ia telah melangkahi setumpuk batu bata yang merupakan bekas-bekas pintu gerbang Kerajaan Pajajaran. Pintu gerbang itu, menurut kepercayaan penduduk setempat, terletak di salah satu tempat di kebun raya.

3. Legenda Perseorangan (personal legends)
Legenda perseorangan menceritakan tokoh tertentu yang dianggap pernah ada dan terjadi, misalnya Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatra, Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa Barat, Rara Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana dan Layonsari dari Bali.

Jadi, Legenda ini adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. Contoh legenda ini misalnya tokoh Panji di Jawa Timur. Menurut legenda Panji adalah seorang putra Kerajaan Kuripan (Singhasari) di Jawa Timur. Dia senantiasa kehilangan istrinya. Cerita tentang tokoh Panji selalu bertemakan perihal pencarian istrinya yang telah menyatu atau menjelma menjadi wanita lain.

4. Legenda Setempat (local legends)
Legenda lokal adalah legenda yang berhubungan dengan nama tempat terjadinya gunung, bukit, danau, dan sebagainya. Misalnya, legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, Sangkuriang (legenda Gunung Tangkuban Parahu) di Jawa Barat, Rara Jonggrang di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Ajisaka di Jawa Tengah, dan Desa Trunyan di Bali.

Legenda ini adalah legenda yang ceritanya berhubungan erat dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, dan sebagainya. Di Jawa Barat terdapat legenda setempat misalnya legenda tentang asal usul nama Kuningan. Tempat ini merupakan suatu kabupaten yang letaknya di lereng Gunung Ceremai. Legenda asal usul nama Kuningan dikaitkan dengan kehadiran seorang tokoh penyebar Islam, yaitu Sunan Gunung Jati.

D. Dongeng

Danandjaja mengatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Selain itu dongeng juga sering disebut cerita pendek kolektif kesusastraan lisan.

Jenis-jenis dongeng adalah sebagai berikut;

1. Dongeng Binatang
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang, baik binatang peliharaan maupun binatang liar.

2. Dongeng Biasa
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang populer adalah yang bertipe ”Cinderella”, yaitu seorang wanita yang tidak ada harapan (unpromissing heroin). Dongeng biasa yang bertipe Cinderella ini bersifat universal karena tersebar ke segala penjuru dunia.

Dongeng juga memiliki beberapa ciri yang membedakannya dari dua bentuk cerita rakyat yang disebutkan terlebih dahulu. Adapun ciri-ciri dongeng menurut Rusyana dkk (2000) seperti terlihat pada bagan di bawah ini:

  1. Dongeng merupakan cerita tradisional yang terdapat di masyarakat sejak zaman dahulu.
  2. Peristiwa yang diceritakan menggambarkan peristiwa dahulu kala.
  3. Pelakunya dibayangkan manusia biasa seperti dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kebanyakan perbuatan biasa, akan tetapi ada juga yang melakukan hal-hal luar biasa atau keajaiban.
  5. Latar cerita dapat berupa tempat biasa yang ada di bumi ini atau juga latar yang bukan merupakan tempat biasa seperti kayangan atau tempat tinggal makhluk halus.
  6. Oleh masyarakatnya dongeng tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang pernah terjadi dan sebagai sesuatu kepercayaan.

E. Pengertian dan Penjelasan Upacara

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan (Wardaya, 2009; 29). Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.

1. Upacara Penguburan
Upacara penguburan merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menimbulkan kepercayaan bahwa roh orang meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal semasa hidupnya. Sewaktu-waktu roh tersebut dapat dipanggil untuk menolong masyarakat jika ada bahaya atau kesulitan.

2. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan dilaksanakan di tengah masyarakat sejak dahulu sampai sekarang. Perkawinan sekaligus mempertemukan dan mengawali hubungan dua keluarga yang saling bersahabat. Tiap-tiap daerah mempunyai adat berbeda-beda, seperti di daerah Minangkabau menganut garis keturunan matrilineal (garis ibu), sedangkan suku Batak, Bali, Jawa menganut garis patrilineal (garis keturunan lakilaki).

3. Upacara Pengukuhan Kepala Suku
Kedudukan kepala suku di masa lalu adalah besar sebab ia harus memiliki kesaktian, keahlian, pengalaman, dan pengaruh yang kuat karena kepala suku adalah pelindung kelompok sukunya dari berbagai ancaman. Kepala suku bahkan dianggap ahli dalam upacara pemujaan, upacara penempatan rumah, upacara pembukaan ladang, dan upacara adat lainnya.

F. Lagu-Lagu

Lagu-lagu daerah atau lagu rakyat adalah syair-syair yang ditembangkan dengan irama menarik dalam bentuk lisan. Lagu rakyat dikenal dengan sebutanfolksong. Lagu rakyat untuk anak-anak, misalnya, di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah CublakCublak Suweng, Ilir-Ilir, dan Jamuran; di Jawa Barat adalah Cing Cangkeling; di Kalimantan Barat adalah lagu Cik-Cik Periok; di Bali dikenal lagu Meyong-Meyong. Lagu-lagu rakyat umum, misalnya, lagu Butet dari Batak yang dilantunkan dengan nada sedih, lagu Tenang Tanage dari Manggarai, Flores, dengan nuansa perenungan, dan lagu Kampuang nan Jauh di Mato dari daerah Sumatra Barat. Ada pula nyanyian religius yang dipadukan dengan tarian di daerah Aceh, yaitu Saman dan Seudati, dan di Nias ada lagu Hoho.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah; Folklor, mitologi, legenda dan lain-lain merupakan tradisi lisan untuk mengabadikan pengalaman seseorang. Tradisi lisan ini tedapat pada masa praaksara atau masa di mana masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan.

Itulah penjelasan dari folkor, mitologi, legenda, dongeng dan lain-lain. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan bagi kita semua.

Artikel Berkaitan:

Subscribe Our Newsletter