Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia - Pada masa bercocok tanam merupakan lanjutan dari kehidupan masyarakat Indonesia masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini manusia purba sudah hidup menetap. Walaupun sebagian dari mereka masih ada yang berpindah-pindah, namun masa berpindah tempat dari tempat lain ke tempat lainya sudah relatif lama dari pada masa berburu. Hidup menetap dan bercocok tanam ada pada zaman Neotilikum, di mana manusia purba benar-benar telah memiliki kemampuan penalaran yang tinggi, terbukti dari hasil kebudayaan yang semakin halus dan sempurna (Dwi A. Listiyani, Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, 2009; 79). Kapak persegi adalah salah satu alat untuk memotong daging binatang hasil buruan, menebang pohon dan membuat perahu.
Oleh karena sudah bercocok tanam, maka dapat dipastikan mereka sudah hidup menetap. Mereka sudah dapat menyimpan hasil panenanya untuk waktu yang cukup lama, demikian juga telah beternak dari hasil buruannya; yang berarti telah memproduksi ternak. Revolusi kehidupan manusia dari food gathering ke food producing dapat dibuktikan dengan adanya beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh Dr. Brandes, seorang ahli purbakala, yang mengemukakan bahwa sebelum kedatangan pengaruh Hindu -Budha, telah terdapat 10 (sepuluh) unsur pokok dalam kehidupan asli masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada zaman Neolitikum ini telah terjadi perubahan-perubahan besar, suatu revolusi kehidupan manusia, yakni perubahan dari pola hidup berpindah-pindah dan tergantung pada penyediaan alam (food gathering) ke kehidupan menetap, bertani, beternak dan berproduksi (food producing).
Kehidupan Masyarakat Indonesia Pada Masa Bercocok Tanam |
Terdapat beberapa hal yang mengalami peningkatan pada masa bercocok tanam jika dibandingkan dengan pada masa berburu. Untuk lebih jelasnya silahkan simak penjelasan di bawah ini.
Masyarakat Indonesia pada Masa Bercocok Tanam
Di sini akan dijelaskan beberapa hal dalam menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa bercocok tanam. Hal-hal yang akan kami jelaskan itu adalah tentang keadaan lingkungan pada masa bercocok tanam, kehidupan sosial dan ekonomi, alat dan budaya yang telah dihasilkan, sistem kepercayaan dan lain-lain. Baik langsung saja kita lanjut ke pembahasan pertama.
1. Keadaan Lingkungan
Keadaan pada masa bercocok tanam sudah lebih baik atau lebih stabil dari masa berburu. Jika pada masa berburu masih sering terjadi letusan gunung merapi, maka pada masa bercocok tanam sudah sangat jarang terjadi. Aliran sungai yang tadinya sering berpindah arah, maka pada masa berburu sudah sangat jarang terjadi bahkan hampir tidak ada. Dengan keadaan lingkungan yang cukup stabil, maka pada masa bercocok tanam mereka sudah sangat jarang berpindah-pindah tempat tinggal.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, keadaan belum stabil, yakni banyak letusan-letusan gunung. Letusan-letusan gunung yang terjadi pada masa itu telah membuat tanah menjadi sangat subur, sehingga pada masa bercocok tanam masyarakatnya memperoleh makanan dari hasil pertanian. Dengan demikian, keadaan lingkungan pada masa berburu sudah lebih baik dari masa berburu. Bahkan pada masa ini mereka sudah mulai beternak hewan yang telah mereka tangkap.
2. Kehiduapan Sosial Pada Masa Bercocok Tanam
Pada masa bercocok tanam kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks setelah mereka tidak saja tinggal di goa-goa, tetapi juga memanfaatkan lahan-lahan terbuka sebagai tempat tinggal. Dengan bertempat tinggal menetap mereka mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan teknologi pembuatan alat dari batu. Perubahan cara hidup dari mengembara ke menetap akhirnya berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya. Cara hidup berburu dan meramu secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan.
Karena kegiatan pertanian membutuhkan satu organisasi yang lebih luas yang berfungsi untuk mengelola dan mengatur kegiatan pertanian tersebut. Dari organisasi itu kemudian menumbuhkan organisasi masyarakat yang bersifat chiefdoms atau masyarakat yang sudah berkepemimpinan. Dalam masyarakat yang demikian itu sudah dapat dibedakan antara pemimpin dan yang dipimpin.
3. Kehidupan Ekonomi Masyarakat di Masa Bercocok Tanam
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan manusia purba memperoleh makanan hanya mengandalkan makanan-makanan yang disediakan oleh alam seperti, buah-buahan yang tumbuh secara liar dan berburu hewan yang berada di sekitar mereka. Berbeda dengan masyarakat pada masa bercocok tanam. Masyarakat di masa ini telah mengalami perkembangan yang lebih maju. Mereka memperoleh makanan dengan cara mengolah alam, yaitu dengan cara bertani. Seperti yang telah disebutkan dalam buku sejarah karya Tarunasena;
"Ketika alam sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup manusia, yang disebabkan populasi manusia bertambah dan sumber daya alam berkurang, maka manusia mulai memikirkan bagaimana dapat menghasilkan makanan. Manusia harus mengolah alam. Pada masa ini kehidupan manusia berkembang dengan mulai mengolah makanan dengan cara bercocok tanam" (Tarunasena, 2009; 131).
Lahan yang dipergunakan untuk bercocok tanam adalah hutan-hutan yang telah ditebang pepohonannya dan dibersihkan, kemudian ditanami tumbuh-tumbuhan seperti buah-buahan atau tumbuhan yang diperlukan oleh manusia. Pendapat lain menyebutkan bahwa, "Pertanian berbentuk perladangan dengan cara membakar hutan terlebih dahulu, kemudian dibersihkan dan ditebarkan benih-benih tanaman. Tumbuh-tumbuhan yang mula-mula ditanam adalah kacang-kacangan, mentimun, ubi-ubian dan biji-bijian seperti jawawut, jenis padi, dan sebagainya" (Marwan, 2009; 74).
Cara masyarakat pada masa bercocok tanam masih sangat sederhana. Seperti yang telah disebutkan dalam buku Sejarah karya Tarunasena, yaitu; "Cara yang mereka lakukan masih sangat sederhana. Berhuma merupakan cara bercocok tanam yang sangat sederhana. Karena berhuma memerlukan tempat yang subur, maka ketika tanah itu sudah tidak subur, mereka akan mencari daerah baru. Dengan demikian hidup mereka berpindah ke tempat baru untuk waktu tertentu, dan begitu seterusnya" (Tarunasena, 2009; 131-132).
Pendapat yang sama bahwa manusia purba pada masa bercocok tanam adalah dengan cara berhuma adalah sebagai berikut;
Cara manusia bercocok tanam pada sistem perladangan adalah pertama-tama mereka menebang hutan lalu membakar ranting-ranting, daun, dan pohonnya. Sesudah dibersihkan baru mereka menanam sejenis umbi-umbian. Setelah masa panen, mereka akan meninggalkan tempat itu dan mencari tempat yang baru dengan cara yang sama, yakni tebang dan bakar. Oleh karena itu, sistem perladangan ini disebut slash and burn yang artinya tebang dan bakar. (Marwan, 2009; 74-75)
Adanya kegiatan bercocok tanam ini didasarkan pada beberapa temuan di kawasan Asia Tenggara. Orang-orang di Asia Tenggara sudah menemukan suatu bentuk pertanian sederhana, yaitu pertanian ladang atau perladangan. Di Asia Tenggara sistem perladangan berpindah sudah dilakukan manusia pada masa akhir Pletosen atau kira-kira 9000 tahun Sebelum Masehi (Marwan, 2009; 74).
Artikel Lain:
4. Alat-Budaya Yang Dihasilkan
Pada masa kehidupan awal masyarakat Indonesia yaitu, pada masa bercocok tanam terdapat beberapa alat-alat yang sudah dihasilkan. Alat-alat pada masa bercocok tanam sudah lebih baik dari masa berburu. Selain lebih baik dari masa berburu, alat-alat yang telah dihasilkan pun lebih bervariasi. Selengkapnya, alat-alat yang akan kami sebutkan di bawah ini merupakan hasil dari karya manusia purba pada masa bercocok tanam. Keterangan dari alat-alat pada masa bercocok tanam yang akan kami rangkum dari buku Sejarah karya Hendrayana (2009).
a. Kjokkenmoddinger
Salah satu bukti adanya sisa-sisa tempat tinggal itu ialah kjokkenmoddinger (sampah-sampah dapur). Istilah ini berasal dari bahasa Denmark (kjokken = dapur, modding = sampah). Seperti yang telah diterangkan bahwa, manusia purba pada masa bercocok tanam sudah tinggal menetap. Maka dari itu terdapat sisa-sisa bekas sampah dapur yang berupa tumpukan kulit kerang. Selama ratusan bahkan ribuan tahun kulit kerang itu akhirnya membatu dan menyerupai bukit. Tumpukan kerang yang telah membatu dan menyerupai bukit itulah yang disebut dengan kjokkenmoddinger.
Di tempat kjokkenmoddinger ditemukan juga alat-alat lainnya, seperti pebble (kapak genggam yang sudah halus), batu-batu penggiling beserta landasannya, alat-alat dari tulang belulang, dan pecahan-pecahan tengkorak.
b. Abris Sous Rosche
Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous rosche, yaitu tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang. Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes, batu-batu penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat dari batu. Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat ditemukannya abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamoncong (Sulawesi Selatan).
c. Gerabah
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia mengolah makanan. Hal ini dikarenakan fungsi gerabah di antaranya sebagai tempat menyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu alat yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan berikut, gerabah tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin beragam, bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni.
d. Kapak Persegi
Pemberian nama kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini yaitu batu yang garis irisannya melintangnya memperlihatkan sebuah bidang segi panjang atau ada juga yang berbentuk trapesium. Jenis lain yang termasuk dalam kategori kapak persegi seperti beliung atau pacul untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran yang kecil bernama tarah. Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut terdapat tangkai yang diikatkan. Orang yang pertama memberikan nama Kapak Persegi yaitu von Heine Geldern.
e. Kapak Lonjong
Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini yaitu garis penampang memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk lonjong. Sedangkan bentuk kapaknya sendiri bundar telor. Ujungnya yang agak lancip ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya yang bulat diasah hingga tajam. Ada dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang besar disebut dengan walzeinbeil dan kleinbel untuk ukuran kecil.
f. Perhiasan
Hiasan sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan dibuat dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti hiasan kulit kerang dari sekitar pantai. Hiasan lainnya ada yang terbuat dari yang dibuat dari tanah liat seperti gerabah, dan ada pula yang terbuat dari batu. seperti gelang, kalung, dan beliung.
g. Pakaian
Kebudayaan lainnya yang dimiliki oleh manusia pada masa bercocok tanam diperkirakan mereka telah memakai pakaian. Bahan yang digunakan untuk pakaian berasal dari kulit kayu. Daerah tempat ditemukan bukti adanya pakaian adalah di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya. Pada daerah-daerah tersebut ditemukan alat pemukul kulit kayu. Kulit kayu yang sudah dipukul-pukul menjadi bahan pakaian yang akan dibuat.
Selain itu, dalam buku Sejarah yang disusun oleh Hendrayana juga menyebutkan beberapa alat-alat yang dihasilkan pada masa bercocok tanam. Alat-alat tersebut adalah;
Beliung persegi: diduga dipergunakan dalam upacara; banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Semenanjung Melayu, dan beberapa daerah di Asia Tenggara.
Kapak lonjong: umumnya terbuat dari batu kali yang berwarna kehitam-hitaman; dibuat dengan cara diupam hingga halus; ditemukan di daerah Maluku, Papua, Sulawesi Utara, Filipina, Taiwan, Cina.
Mata panah: digunakan sebagai alat berburu dan menangkap ikan; untuk menangkap ikan mata panahnya dibuat bergerigi dan terbuat dari tulang, mata panah untuk menangkap ikan ini banyak ditemukan di dalam goa-goa di pinggir sungai; orang Papua kini masih menggunakan mata panah untuk menangkap ikan dan berburu, namun terbuat dari kayu.
Gerabah: terbuat dari tanah liat yang dibakar; digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda perhiasan; biasanya dihiasi motif-motif hias yang indah.
Perhiasan: terbuat dari tanah liat, batu kalsedon, yaspur, dan agat; dapat berwujud kalung, gelang, anting-anting; bila seseorang meninggal maka ia akan dibekali perhiasan di dalam kuburannya
5. Kepercayaan Masyarakat Indonenesia Pada Masa Bercocok Tanam
Pemujaan terhadap roh atau arwah leluhur tidak hanya terdapat di Indonesia, namun juga hampir di seluruh dunia. Pemujaan ini berawal dari anggapan manusia terhadap kekuatan alam. Tanah, air, udara, dan api dianggap sebagai unsur pokok dalam kehidupan semesta. Semua itu diatur dan dijaga oleh suatu kekuatan, kepercayaan inilah yang menyebabkan munculnya sosok roh setelah mati.
Pada masa bercocok tanam manusia purba telah mengenal anggapan bahwa roh manusia setelah mati dianggap tidak hilang, melainkan berada di alam lain yang tidak berada jauh dari tempat tinggalnya dahulu. Dengan demikian, karena sewaktu-waktu roh yang bersangkutan dapat dipanggil kembali bila dimintakan bantuannya. Untuk itu, pada saat seorang mati dikuburkan maka ia dibekali dengan bermacam-macam keperluan sehari-hari, seperti perhiasan dan periuk.
Dari kepercayaan masyarakat pada masa bercocok tanam inilah muncul beberapa bangunan. Bangunan-bangunan itu adalah sebagi berikut;
a. Menhir
Menhir merupakan tugu batu yang tegak, tempat pemujaan terhadap arwah leluhur. Menhir ini banyak ditemukan di Sumatera, Sulawesi Tengah, serta Kalimantan.
b. Sarkofagus
Sarkofagus adalah peti jenazah yang terbuat dari batu bulat (batu tunggal). Sarkofagus ini banyak ditemukan di daerah Bali.
c. Dolmen
Dolmen adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang akan dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Di bawah dolmen ini biasanya ditemukan kuburan batu.
d. Kuburan atau Peti Batu
Kuburan batu adalah peti jenazah yang terbuat dari batu pipih. Kuburan batu ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat, dan Nusa Tengggara.
e. Waruga
Waruga adalah kuburan batu yang berbentuk kubus atau bulat, terbuat dari batu yang utuh. Waruga ini banyak ditemukan di Sulawesi Utara dan Tengah.
f. Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak adalah bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dibuat dalam bentuk bertingkat-tingkat atau berundak-udak. Bangunan ini banyak ditemukan di daerah Lebak Si Bedug, Banten Selatan.
Punden Berunda-Unda Pada Masa Bercocok Tanam |
g. Arca atau Patung
Arca pada masa Megalitikum terbuat dari batu, biasanya berbentuk sosok hewan dan manusia. Jenis hewan yang sering dibentuk adalah gajah, kerbau, harimau, monyet. Arca-arca batu ini banyak terdapat di Sumatera selatan, Lampung, Jawa Tengah dan Timur
6. Keahlian Awal Masyarakat Indonesia pada Masa Bercocok Tanam
Masa bercocok tanam merupakan kelanjutan dari masa berburu. Oleh sebab itu, pada masa ini keahlian masyarakatnya sudah mulai berkembang, di antaranya adalah;
- Bercocok tanam atau bertani
- Membuat lahan untuk pertanian
- Membuat perhiasan yang terbuat dari tanah liat, batu kalsedon, yaspur, dan
- agat; dapat berwujud kalung, gelang, anting-anting
- Selain itu mereka juga sudah dapat beternak.
Kesimpulan
Kehidupan awal masyarakat Indonesia pada masa bercocok tanam sudah mengalami kemajuan dibanding dengan pada masa berburu. Pada masa berburu manusia purba mendapat makanan dari alam, sedangkan pada masa bercocok tanam mereka mendapat makanan dengan mengolah tanah atau bertani. Selain bertani masyarakat pada masa bercocok tanam sudah mengenal berternak hewan yang telah mereka tangkap.
Dari segi peralatan yang dihasilkan, pada masa bercocok tanam juga sudah lebih bervariasi. Alat-alat tersebut di antaranya, gerabah, mata panah, perhiasan, kapak lonjong dan beliung persegi. Kepercayaan masyarakat bercocok tanam sudah mengenal roh orang-orang yang telah meninggal dan mempercayai bahwa terdapat kekuatan yang luar biasa yang menjaga alam seperti kekuatan penjaga air, api, dan pepohonan. Kepercayaan terhadap roh orang yang sudah meninggal menghasilkan beberapa bangunan di antaranya, menhir, sarkofagus, dolmen dan lain-lain.
Artikel Berkaitan: