Halaman

    Social Items

Ads 728x90

Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan masih sangat sederhana. Cara mencari makanan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari masih menggunakan cara berburu yang kemudian dikumpulkan dan dimakan secara bersama-sama. Mereka memakan makanan yang disediakan oleh alam (Dwi Ari Listiyani, Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, 2009; 78). Selain berburu, masyarakat Indonesia pada masa ini juga mendapat makanan dari mengumpulkan buah-buahan, ubi-ubian, dan menangkap ikan. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil (bergerombol) agar mampu menghadapi segala macam tantangan
atau ancaman.

Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa berburu sudah mengenal tempat tinggal, akan tetapi mereka tidak menetap. Mereka menempati tempat tinggal satu ke tempat tinggal lainya sesuai dengan keinginan mereka. Biasanya mereka memilih tempat tinggal yang terdapat sumber makanan dan minuman seperti, di pinggir sungai, danau, pantai-pantai, atau di goa-goa. Di pinggir sungai dan di pinggir danau karena terdapat ikan yang dapat ditangkap. Sedangkan jika mereka memilih tempat tinggal di goa, biasanya di sekitar goa tersebut terdapat banyak hewan buruan.

Manusia purba secara sederhana telah menghasilkan kebudayaan, sebab budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (Dwi Ari Listiyani,  Sejarah SMA/MA Kelas X, 2009; 78). Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia pada  masa berburu dan mengumpulkan makanan secara sederhana telah menghasilkan kebudayaan. Mereka berhasil menciptakan alat-alat untuk menangkap binatang buruan, menguliti binatang buruan, mengorek ubi-ubian, mengail ikan dan sebagainya. Bahan pembuat alat-alat di dapat dari alam sekitarnya, seperti batu, kayu, tulang, tanduk binatang dan sebagainya.

Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan

Pada prinsipnya, manusia dapat hidup dan bertahan di dunia karena mereka tahu cara untuk memperoleh makanan agar tetap bertenaga dan melakukan aktifitas lainya. Cara untuk memperoleh makanan ini merujuk pada bidang ekonomi. Selain itu bidang sosial juga sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan ini. Setelah kebutuhan sosial dan ekonomi terpenuhi, maka timbul budaya-budaya yang baru dan lebih bervariatif.

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu

Untuk itu, pada postingan yang berjudul "kehidupan awal masyarakat Indonesia pada masa berburu" akan membahas beberapa hal di antaranya, Keadaan lingkungan masyarakat Indonesia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, kehidupan sosial dan ekonomi, alat-alat yang digunakan, sistem kepercayaan, dan lain-lain.

Dalam masa prasejarah Indonesia, corak kehidupan dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dibagi menjadi dua masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan atau meramu makanan tingkat sederhana serta masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Pada masa tingkat sederhana manusia hidup secara berkelompok. Kelompok laki-laki melakukan perburuan, sedangkan kelompok perempuan mengumpulkan dan meramu makanan. Perburuan dilakukan dengan alat-alat yang masih sangat sederhana.

1. Keadaan Lingkungan Pada Masa Berburu

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba hidup sangat sulit karena keadaan alam belum stabil (Marwan, untuk SMA/MA Kelas X, 2009; 71). Lingkungan yang belum stabil inilah salah satu faktor yang membuat manusia pada masa berburu berpindah-pindah tempat tinggalnya. Disebut dengan "keadaan alam yang belum stabil" karena letusan gunung berapi masih sering terjadi, aliran sungai kadang-kadang berpindah sejalan dengan perubahan bentuk bumi.

Dalam buku Cakrawala Sejarah (2009; 70) disebutkan bahwa, "Zaman kuarter, yaitu zaman hidup keempat. Pada zaman ini, mulai muncul kehidupan manusia. Zaman ini dibedakan menjadi zaman Pleistosen (Diluvium) dan kala Holosen (Aluvium)". Pada zaman Pleistosen (Diluvium) dan Holosen (Aluvium) merupakan awal dari lahirnya manusia yang disebut dengan Pithecanthropus dan Homo Sapien, yaitu jenis manusia purba seperti sekarang. Jadi, antara masa berburu dan zaman holosen diperkirakan sama atau satu masa.

Sebelum zaman holosen, adalah zaman Pleistosen (Diluvium). Pada zaman Diluvium ini, terjadi penurunan suhu dengan drastis bahkan sampai di bawah 0 derajat C sehingga muncul zaman Es (zaman Glasial). Pada zaman Glasial, permukaan laut menurun sehingga perairan dangkal berubah menjadi daratan. Seluruh pulau di daratan Asia menyatu dan pada akhirnya karena terjadi penyairan es di kutub utara, maka beberapa daerah dataran Asia tenggelam hingga terjadilah pulau-pulau termasuk kepulauan Indonesia.

Setelah kejadian di atas, dataran masih belum stabil karena banyak gunung merapi yang meletus. Karena itulah keadaan lingkungan masyarakat pada masa berburu di Indonesia masih sangat sulit.

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, masyarakat awal di Indonesia senang bertempat tinggal di goa-goa, pinggir sungai atau danau, atau di pantai-pantai. Mereka yang tinggalnya di goa biasanya letaknya di lereng-lereng bukit yang cukup tingi, sehingga untuk memasuki gua-gua itu diperlukan tangga-tangga yang dapat ditarik ke dalam gua, jika ada bahaya yang mengancam.

2. Kehidupan Sosial-Ekonomi pada Masa Berburu

Manusia hidup di dunia, disadari atau tidak disadari memerlukan bantuan orang lain. Oleh sebab itu, manusia disebut juga dengan makhluk sosial. Mereka bekerja sama saling bahu membahu, tolong menolong dan bantu membantu. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba pada saat itu bertahan hidup dengan cara berkelompok. Mereka hidup berkelompok baik pada saat berburu maupun pada saat beraktifitas lainya. Mereka berkelompok dengan tujuan demi keamanan terutama dalam menghadapi serangan dari binatang buas (Tarunasena, Sejarah SMA/MA untuk Kelas X, 2009; 128).

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu
Gambar Manusia Purba Pada Masa Berburu

Kalau dengan cara berkelompok perlindungan mereka relatif lebih aman daripada pergi sendiri. Dwi Ari Listiyani berpendapat "Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil (bergerombol) agar mampu menghadapi segala macam tantangan atau ancaman (Dwi A. Listiyani, 2009; 78). Oleh sebab itu, kehidupan sosial pada masa berburu sudah mengenal kerjasama dengan cara berkelompok untuk saling melindungi dan saling membantu dalam mencari makanan.

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di daerah pantai, ada pula yang memilih tempat tinggal di daerah pedalaman. Mereka yang memilih tempat tinggal di pantai makanan utamanya berupa ikan, kerang dan lain-lain. Sedangkan kelompok yang memilih tempat tinggal di pedalaman mereka lebih memilih bertempat di pinggir sungai agar kebutuhan air tercukupi, sedangkan makanannya mereka berburu binatang-binatang yang berada di sekitar tempat tinggalnya.

Jadi intinya kehidupan sosial masyarakat awal Indonesia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan sudah membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama dalam berburu dan saling bantu-membantu dalam melindungi dirinya dari bahaya yang mengancam.

Setelah kehidupan sosial mari kita bahas mengenai kehidupan ekonomi masyarakat awal Indonesia pada masa berburu.

Ekonomi merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan cara manusia untuk memenuhi kehidupanya, terutama untuk mencari makanan sehari-hari. Pada masa berburu masyarakat Indonesia memperoleh makanan dengan cara berburu. Karena pada masa ini, manusia belum melakukan pengolahan terhadap sumber daya alam. 

Ketergantungan manusia terhadap alam sangat tinggi, mereka memakan makanan yang sudah disediakan oleh alam. Oleh sebab itu, cara yang mereka lakukan untuk mendapat makanan yaitu dengan berburu dan mengumpulkan makanan (Tarunasena, 2009; 127). Berburu dan mengumpulkan makanan merupakan cara yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Apabila persediaan makanan yang terdapat pada alam di mana mereka tinggal, maka tempat tersebut akan mereka tinggalkan.

Hewan yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran besar, seperti gajah, sapi, babi atau kerbau (Hendrayana, 2009; 108). Saat perburuan, tentu diperlukan adanya kerja sama antar individu yang kemudian membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata. Adanya keterikatan satu sama lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki bertugas memburu hewan dan yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 – 15 orang.

Buku lain menyebutkan, "Mereka kemudian akan melakukan pengembaraan atau berpindah ke tempat lain. Di tempat sementara ini, kelompok berburu biasanya tersusun dari keluarga kecil dengan jumlah kurang lebih 20 sampai 50 orang (Marwan, 2009; 71). Tugas berburu binatang dilakukan oleh orang laki-laki sedangkan orang perempuan bertugas mengumpulkan makan, mengurus anak, dan mengajari anaknya dalam meramu makanan. Ikatan kelompok pada masa ini sangat penting untuk mendukung berlangsungnya kegiatan bersama.

Jadi inti dari kehidupan sosial-ekonomi pada masa berburu dan mengumpulkna makanan adalah mereka hidup dengan cara berkelompok untuk saling membantu dalam mencari makanan atau berburu. Setelah mereka berhasil mendapatkan hewan buruan maka mereka membagi hasil buruanya dengan rata. Pada masa ini, manusia tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai. Penangkapan ikan menggunakan mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil.

3. Kepercayaan Masyarakat Indonesia pada Masa Berburu

Penemuan akan kuburan primitif merupakan bukti bahwa manusia berburu makanan ini telah memiliki kepercayaan yang bersifat rohani dan spiritual (Hendrayana, 2009; 111). Masyarakat zaman ini menganggap bahwa orang yang telah mati akan tetap hidup di dunia lain dan tetap mengawasi anggota keluarganya yang masih hidup.

Adanya penggunaan alat-alat berburu dari alam menimbulkan kepercayaan akan adanya kekuatan alam yang dianggap telah membantu keberhasilan berburu (Hendrayana, 2009; 111). Adanya seni lukis di gua-gua yang menceritakan tentang kejadian perburuan, patung dewi kesuburan dan penguburan mayat bersama alat-alat berburu, merupakan suatu bukti tentang adanya kepercayaan primitif masyarakat purba. Orang yang meninggal saat berburu harus diberi perhargaan dalam bentuk rasa penghormatan.

Temuan lukisan di dinding-dinding gua menunjukkan adanya hasrat manusia purba untuk merasakan suatu kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Lukisan dibuat dalam bentuk cerita upacara penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, perkawinan, dan upacara minta hujan, seperti yang terdapat di Papua.

Jadi intinya, Pada masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan, sistem kepercayaan pada sesuatu yang luar biasa atau kekuatan di luar kehendak manusia, tampaknya sudah ada. Hal itu dapat diketahui dari sisa-sisa penguburan manusia yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, mereka percaya, bahwa ada suatu kehidupan lain setelah mati.

4. Budaya dan Alat yang Dihasilkan pada Masa Berburu

Pada masa beburu dan mengumpulkan makanan, awal kehidupan masyarakat Indonesia sudah menghasilkan beberapa alat untuk memudahkan dalam aktifitas sehari-hari, seperti berburu. Alat-alat kehidupan mereka pun makin berkembang, seperti chooper (kapak perimbas = pebble = kapak Sumatra), chopping tool (kapak penetak), anak panah, flake, alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, dan sebagainya (Dwi A. Listiyani, 2009; 78).

Batu, tulang, dan kayu merupakan bahan-bahan yang digunakan oleh manusia purba untuk membuat alat-alat. Temuan yang dilakukan oleh para ahli, lebih banyak menemukan alat-alat dari batu dan tulang. Bentuk alat-alat yang ditemukan pada masa berburu ini masih dalam bentuk sederhana. Batu yang digunakan masih kasar belum halus. Penemuan sejumlah alat dari batu ditemukan oleh Von Koeningwald di Pacitan pada tahun 1935. Alat yang ditemukan ini berupa kapak genggam alias kapak yang tidak ada gagangnya. Kapak ini disebut juga dengan sebutan chopper (Tarunasena, 2009; 129).

Di daerah Ngandong dan Sidorejo ditemukan pula alat lainnya yang terbuat dari tulang. Alat dari tulang itu banyak berasal dari tulang binatang hasil buruan. Bagian tulang yang digunakan sebagai alat biasanya bagian tanduk dan kaki. Fungsi dari alat ini dipergunakan untuk mengorek umbi-umbian dari dalam tanah dan mengerat daging binatang. Tanduk atau tulang yang diikatkan pada kayu dapat berfungsi sebagai tombak untuk berburu binatang atau menangkap ikan.

Di daerah lainnya, yaitu Sangiran, Sulawesi Selatan, Maumere, dan Timor ditemukan alat-alat serpih yang dinamakan flakes. Flakes ini sangat kecil sekali dan bentuknya ada yang seperti pisau, gurdi, atau penusuk. Diperkirakan flakes ini digunakan untuk mengupas, memotong, atau menggali makanan.

Kalau dikaitkan dengan kehidupan manusia purba, kebudayaan kapak genggam (chopper), alat tulang-tulang, dan flakes ini termasuk pada peninggalan jenis manusia Pihecanthopus Erectus. Manusia jenis ini hidup pada masa Palaeolithikum atau zaman batu tua dengan ciri-ciri kebudayaan yang dihasilkan banyak terbuat dari batu yang masih kasar.

Secara garis besar hasil kebudayaan atau alat yang dihasilkan pada masa berburu adalah sebagai berikut, yang kami kutip dari buku Sejarah karya Hendrayana (2009; 110):

Kapak perimbas: tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara digenggam; diduga hasil kebudayaan Pithecanthropus Erectus

Kapak penetak: bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Kapak genggam: bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan masih sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia; digenggam pada ujungnya yang lebih ramping.

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu
Gambar kampak gengam pada masa Berburu

Pahat genggam: bentuknya lebih kecil dari kapak genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan mencari ubi-ubian untuk dikonsumsi.

Alat serpih atau flake: bentuknya sangat sederhana; berukuran antara 10 hingga 20 cm; diduga digunakan sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas, memotong, dan menggali tanah; banyak ditemukan di goa-goa yang pernah ditinggali manusia purba.

Alat-alat dari tulang: berupa tulang-belulang binatang buruan. Alat-alat tulang ini dapat berfungsi sebagai pisau, belati, mata tombak, mata panah; banyak ditemukan di Ngandong.

Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan kehidupan awal masyarakat Indonesia pada masa berburu adalah sebagai berikut. Keadaan lingkungan pada masa ini belum stabil atau masih sering terjadi letusan gunung merapi dan sungai-sungai terkadang berubah arah aliranya karena pergeseran bumi. Pada kehidupan sosial, manusia purba pada masa ini hidup membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan kehidupan ekonomi, mereka mencari makanan dengan cara berburu, baik berburu binatang-binatang yang ada di darat ataupun binatang yang berada di dalam Air seperti ikan. Intinya mereka belum mengenal bercocok tanam.

Kebutuhan makan mereka tergantung pada alam, sehingga cara mereka mencari makan disebut dengan nama food gathering (mengumpulkan makanan) dan berburu. Alat-alat kebutuhan mereka dibuat dari batu yang belum dihaluskan (masih sangat kasar). Adapun alat atau budaya yang dihasilkan adalah kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam, pahat genggam, dan alat-alat yang terbuat dari tulang yang berfugnsi sebagai pisau.

Artikel Terkait:

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu

Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan masih sangat sederhana. Cara mencari makanan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari masih menggunakan cara berburu yang kemudian dikumpulkan dan dimakan secara bersama-sama. Mereka memakan makanan yang disediakan oleh alam (Dwi Ari Listiyani, Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, 2009; 78). Selain berburu, masyarakat Indonesia pada masa ini juga mendapat makanan dari mengumpulkan buah-buahan, ubi-ubian, dan menangkap ikan. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil (bergerombol) agar mampu menghadapi segala macam tantangan
atau ancaman.

Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa berburu sudah mengenal tempat tinggal, akan tetapi mereka tidak menetap. Mereka menempati tempat tinggal satu ke tempat tinggal lainya sesuai dengan keinginan mereka. Biasanya mereka memilih tempat tinggal yang terdapat sumber makanan dan minuman seperti, di pinggir sungai, danau, pantai-pantai, atau di goa-goa. Di pinggir sungai dan di pinggir danau karena terdapat ikan yang dapat ditangkap. Sedangkan jika mereka memilih tempat tinggal di goa, biasanya di sekitar goa tersebut terdapat banyak hewan buruan.

Manusia purba secara sederhana telah menghasilkan kebudayaan, sebab budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia (Dwi Ari Listiyani,  Sejarah SMA/MA Kelas X, 2009; 78). Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia pada  masa berburu dan mengumpulkan makanan secara sederhana telah menghasilkan kebudayaan. Mereka berhasil menciptakan alat-alat untuk menangkap binatang buruan, menguliti binatang buruan, mengorek ubi-ubian, mengail ikan dan sebagainya. Bahan pembuat alat-alat di dapat dari alam sekitarnya, seperti batu, kayu, tulang, tanduk binatang dan sebagainya.

Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan

Pada prinsipnya, manusia dapat hidup dan bertahan di dunia karena mereka tahu cara untuk memperoleh makanan agar tetap bertenaga dan melakukan aktifitas lainya. Cara untuk memperoleh makanan ini merujuk pada bidang ekonomi. Selain itu bidang sosial juga sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan ini. Setelah kebutuhan sosial dan ekonomi terpenuhi, maka timbul budaya-budaya yang baru dan lebih bervariatif.

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu

Untuk itu, pada postingan yang berjudul "kehidupan awal masyarakat Indonesia pada masa berburu" akan membahas beberapa hal di antaranya, Keadaan lingkungan masyarakat Indonesia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, kehidupan sosial dan ekonomi, alat-alat yang digunakan, sistem kepercayaan, dan lain-lain.

Dalam masa prasejarah Indonesia, corak kehidupan dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dibagi menjadi dua masa, yaitu masa berburu dan mengumpulkan atau meramu makanan tingkat sederhana serta masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Pada masa tingkat sederhana manusia hidup secara berkelompok. Kelompok laki-laki melakukan perburuan, sedangkan kelompok perempuan mengumpulkan dan meramu makanan. Perburuan dilakukan dengan alat-alat yang masih sangat sederhana.

1. Keadaan Lingkungan Pada Masa Berburu

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba hidup sangat sulit karena keadaan alam belum stabil (Marwan, untuk SMA/MA Kelas X, 2009; 71). Lingkungan yang belum stabil inilah salah satu faktor yang membuat manusia pada masa berburu berpindah-pindah tempat tinggalnya. Disebut dengan "keadaan alam yang belum stabil" karena letusan gunung berapi masih sering terjadi, aliran sungai kadang-kadang berpindah sejalan dengan perubahan bentuk bumi.

Dalam buku Cakrawala Sejarah (2009; 70) disebutkan bahwa, "Zaman kuarter, yaitu zaman hidup keempat. Pada zaman ini, mulai muncul kehidupan manusia. Zaman ini dibedakan menjadi zaman Pleistosen (Diluvium) dan kala Holosen (Aluvium)". Pada zaman Pleistosen (Diluvium) dan Holosen (Aluvium) merupakan awal dari lahirnya manusia yang disebut dengan Pithecanthropus dan Homo Sapien, yaitu jenis manusia purba seperti sekarang. Jadi, antara masa berburu dan zaman holosen diperkirakan sama atau satu masa.

Sebelum zaman holosen, adalah zaman Pleistosen (Diluvium). Pada zaman Diluvium ini, terjadi penurunan suhu dengan drastis bahkan sampai di bawah 0 derajat C sehingga muncul zaman Es (zaman Glasial). Pada zaman Glasial, permukaan laut menurun sehingga perairan dangkal berubah menjadi daratan. Seluruh pulau di daratan Asia menyatu dan pada akhirnya karena terjadi penyairan es di kutub utara, maka beberapa daerah dataran Asia tenggelam hingga terjadilah pulau-pulau termasuk kepulauan Indonesia.

Setelah kejadian di atas, dataran masih belum stabil karena banyak gunung merapi yang meletus. Karena itulah keadaan lingkungan masyarakat pada masa berburu di Indonesia masih sangat sulit.

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, masyarakat awal di Indonesia senang bertempat tinggal di goa-goa, pinggir sungai atau danau, atau di pantai-pantai. Mereka yang tinggalnya di goa biasanya letaknya di lereng-lereng bukit yang cukup tingi, sehingga untuk memasuki gua-gua itu diperlukan tangga-tangga yang dapat ditarik ke dalam gua, jika ada bahaya yang mengancam.

2. Kehidupan Sosial-Ekonomi pada Masa Berburu

Manusia hidup di dunia, disadari atau tidak disadari memerlukan bantuan orang lain. Oleh sebab itu, manusia disebut juga dengan makhluk sosial. Mereka bekerja sama saling bahu membahu, tolong menolong dan bantu membantu. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, manusia purba pada saat itu bertahan hidup dengan cara berkelompok. Mereka hidup berkelompok baik pada saat berburu maupun pada saat beraktifitas lainya. Mereka berkelompok dengan tujuan demi keamanan terutama dalam menghadapi serangan dari binatang buas (Tarunasena, Sejarah SMA/MA untuk Kelas X, 2009; 128).

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu
Gambar Manusia Purba Pada Masa Berburu

Kalau dengan cara berkelompok perlindungan mereka relatif lebih aman daripada pergi sendiri. Dwi Ari Listiyani berpendapat "Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil (bergerombol) agar mampu menghadapi segala macam tantangan atau ancaman (Dwi A. Listiyani, 2009; 78). Oleh sebab itu, kehidupan sosial pada masa berburu sudah mengenal kerjasama dengan cara berkelompok untuk saling melindungi dan saling membantu dalam mencari makanan.

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di daerah pantai, ada pula yang memilih tempat tinggal di daerah pedalaman. Mereka yang memilih tempat tinggal di pantai makanan utamanya berupa ikan, kerang dan lain-lain. Sedangkan kelompok yang memilih tempat tinggal di pedalaman mereka lebih memilih bertempat di pinggir sungai agar kebutuhan air tercukupi, sedangkan makanannya mereka berburu binatang-binatang yang berada di sekitar tempat tinggalnya.

Jadi intinya kehidupan sosial masyarakat awal Indonesia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan sudah membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama dalam berburu dan saling bantu-membantu dalam melindungi dirinya dari bahaya yang mengancam.

Setelah kehidupan sosial mari kita bahas mengenai kehidupan ekonomi masyarakat awal Indonesia pada masa berburu.

Ekonomi merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan cara manusia untuk memenuhi kehidupanya, terutama untuk mencari makanan sehari-hari. Pada masa berburu masyarakat Indonesia memperoleh makanan dengan cara berburu. Karena pada masa ini, manusia belum melakukan pengolahan terhadap sumber daya alam. 

Ketergantungan manusia terhadap alam sangat tinggi, mereka memakan makanan yang sudah disediakan oleh alam. Oleh sebab itu, cara yang mereka lakukan untuk mendapat makanan yaitu dengan berburu dan mengumpulkan makanan (Tarunasena, 2009; 127). Berburu dan mengumpulkan makanan merupakan cara yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Apabila persediaan makanan yang terdapat pada alam di mana mereka tinggal, maka tempat tersebut akan mereka tinggalkan.

Hewan yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran besar, seperti gajah, sapi, babi atau kerbau (Hendrayana, 2009; 108). Saat perburuan, tentu diperlukan adanya kerja sama antar individu yang kemudian membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata. Adanya keterikatan satu sama lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki bertugas memburu hewan dan yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10 – 15 orang.

Buku lain menyebutkan, "Mereka kemudian akan melakukan pengembaraan atau berpindah ke tempat lain. Di tempat sementara ini, kelompok berburu biasanya tersusun dari keluarga kecil dengan jumlah kurang lebih 20 sampai 50 orang (Marwan, 2009; 71). Tugas berburu binatang dilakukan oleh orang laki-laki sedangkan orang perempuan bertugas mengumpulkan makan, mengurus anak, dan mengajari anaknya dalam meramu makanan. Ikatan kelompok pada masa ini sangat penting untuk mendukung berlangsungnya kegiatan bersama.

Jadi inti dari kehidupan sosial-ekonomi pada masa berburu dan mengumpulkna makanan adalah mereka hidup dengan cara berkelompok untuk saling membantu dalam mencari makanan atau berburu. Setelah mereka berhasil mendapatkan hewan buruan maka mereka membagi hasil buruanya dengan rata. Pada masa ini, manusia tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai. Penangkapan ikan menggunakan mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil.

3. Kepercayaan Masyarakat Indonesia pada Masa Berburu

Penemuan akan kuburan primitif merupakan bukti bahwa manusia berburu makanan ini telah memiliki kepercayaan yang bersifat rohani dan spiritual (Hendrayana, 2009; 111). Masyarakat zaman ini menganggap bahwa orang yang telah mati akan tetap hidup di dunia lain dan tetap mengawasi anggota keluarganya yang masih hidup.

Adanya penggunaan alat-alat berburu dari alam menimbulkan kepercayaan akan adanya kekuatan alam yang dianggap telah membantu keberhasilan berburu (Hendrayana, 2009; 111). Adanya seni lukis di gua-gua yang menceritakan tentang kejadian perburuan, patung dewi kesuburan dan penguburan mayat bersama alat-alat berburu, merupakan suatu bukti tentang adanya kepercayaan primitif masyarakat purba. Orang yang meninggal saat berburu harus diberi perhargaan dalam bentuk rasa penghormatan.

Temuan lukisan di dinding-dinding gua menunjukkan adanya hasrat manusia purba untuk merasakan suatu kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Lukisan dibuat dalam bentuk cerita upacara penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, perkawinan, dan upacara minta hujan, seperti yang terdapat di Papua.

Jadi intinya, Pada masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan, sistem kepercayaan pada sesuatu yang luar biasa atau kekuatan di luar kehendak manusia, tampaknya sudah ada. Hal itu dapat diketahui dari sisa-sisa penguburan manusia yang telah meninggal dunia. Dengan demikian, mereka percaya, bahwa ada suatu kehidupan lain setelah mati.

4. Budaya dan Alat yang Dihasilkan pada Masa Berburu

Pada masa beburu dan mengumpulkan makanan, awal kehidupan masyarakat Indonesia sudah menghasilkan beberapa alat untuk memudahkan dalam aktifitas sehari-hari, seperti berburu. Alat-alat kehidupan mereka pun makin berkembang, seperti chooper (kapak perimbas = pebble = kapak Sumatra), chopping tool (kapak penetak), anak panah, flake, alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, dan sebagainya (Dwi A. Listiyani, 2009; 78).

Batu, tulang, dan kayu merupakan bahan-bahan yang digunakan oleh manusia purba untuk membuat alat-alat. Temuan yang dilakukan oleh para ahli, lebih banyak menemukan alat-alat dari batu dan tulang. Bentuk alat-alat yang ditemukan pada masa berburu ini masih dalam bentuk sederhana. Batu yang digunakan masih kasar belum halus. Penemuan sejumlah alat dari batu ditemukan oleh Von Koeningwald di Pacitan pada tahun 1935. Alat yang ditemukan ini berupa kapak genggam alias kapak yang tidak ada gagangnya. Kapak ini disebut juga dengan sebutan chopper (Tarunasena, 2009; 129).

Di daerah Ngandong dan Sidorejo ditemukan pula alat lainnya yang terbuat dari tulang. Alat dari tulang itu banyak berasal dari tulang binatang hasil buruan. Bagian tulang yang digunakan sebagai alat biasanya bagian tanduk dan kaki. Fungsi dari alat ini dipergunakan untuk mengorek umbi-umbian dari dalam tanah dan mengerat daging binatang. Tanduk atau tulang yang diikatkan pada kayu dapat berfungsi sebagai tombak untuk berburu binatang atau menangkap ikan.

Di daerah lainnya, yaitu Sangiran, Sulawesi Selatan, Maumere, dan Timor ditemukan alat-alat serpih yang dinamakan flakes. Flakes ini sangat kecil sekali dan bentuknya ada yang seperti pisau, gurdi, atau penusuk. Diperkirakan flakes ini digunakan untuk mengupas, memotong, atau menggali makanan.

Kalau dikaitkan dengan kehidupan manusia purba, kebudayaan kapak genggam (chopper), alat tulang-tulang, dan flakes ini termasuk pada peninggalan jenis manusia Pihecanthopus Erectus. Manusia jenis ini hidup pada masa Palaeolithikum atau zaman batu tua dengan ciri-ciri kebudayaan yang dihasilkan banyak terbuat dari batu yang masih kasar.

Secara garis besar hasil kebudayaan atau alat yang dihasilkan pada masa berburu adalah sebagai berikut, yang kami kutip dari buku Sejarah karya Hendrayana (2009; 110):

Kapak perimbas: tidak memiliki tangkai dan digunakan dengan cara digenggam; diduga hasil kebudayaan Pithecanthropus Erectus

Kapak penetak: bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Kapak genggam: bentuknya hampir sama dengan kapak perimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan masih sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia; digenggam pada ujungnya yang lebih ramping.

Kehidupan Awal Masyarakat Indonesia Pada Masa Berburu
Gambar kampak gengam pada masa Berburu

Pahat genggam: bentuknya lebih kecil dari kapak genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan mencari ubi-ubian untuk dikonsumsi.

Alat serpih atau flake: bentuknya sangat sederhana; berukuran antara 10 hingga 20 cm; diduga digunakan sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas, memotong, dan menggali tanah; banyak ditemukan di goa-goa yang pernah ditinggali manusia purba.

Alat-alat dari tulang: berupa tulang-belulang binatang buruan. Alat-alat tulang ini dapat berfungsi sebagai pisau, belati, mata tombak, mata panah; banyak ditemukan di Ngandong.

Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan kehidupan awal masyarakat Indonesia pada masa berburu adalah sebagai berikut. Keadaan lingkungan pada masa ini belum stabil atau masih sering terjadi letusan gunung merapi dan sungai-sungai terkadang berubah arah aliranya karena pergeseran bumi. Pada kehidupan sosial, manusia purba pada masa ini hidup membentuk kelompok-kelompok kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan kehidupan ekonomi, mereka mencari makanan dengan cara berburu, baik berburu binatang-binatang yang ada di darat ataupun binatang yang berada di dalam Air seperti ikan. Intinya mereka belum mengenal bercocok tanam.

Kebutuhan makan mereka tergantung pada alam, sehingga cara mereka mencari makan disebut dengan nama food gathering (mengumpulkan makanan) dan berburu. Alat-alat kebutuhan mereka dibuat dari batu yang belum dihaluskan (masih sangat kasar). Adapun alat atau budaya yang dihasilkan adalah kapak perimbas, kapak penetak, kapak genggam, pahat genggam, dan alat-alat yang terbuat dari tulang yang berfugnsi sebagai pisau.

Artikel Terkait:

Subscribe Our Newsletter