Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 9 Ramadan, hari jumat, pukul 10.00. Berlokasi di Jalan Pegangsaan Timur, No. 56, Jakarta Pusat. Pembacaan teks proklamasi dilaksanakan oleh Ir. Soekarno dengan didampingi oleh Drs. Moh. Hatta. Peristiwa penting ini, banyak sekali hal-hal atau kejadian-kejadian yang patut untuk dikenang, oleh sebab itu, pemerintah telah mengambil keputusan yang tepat, bahwa 17 Agustus ditetapkan sebagai hari Kemerdekaan Indonesia.
Latar Belakang Kemerdekaan Indonesia
Banyak sekali peristiwa-peristiwa penting yang harus kita ketahui untuk menunjukkan kecintaan kepada Tanah Air Indonesia. Agar kita bisa mengenang dan memahami bagaimana perjuangan para pahlawan dan tokoh nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan begitu kita akan bersyukur dan berterimakasih kepada para Pahlawan Nasional.
Pada bulan Juni 1944, Jepang semakin tersesak dalam Perang Pasifik, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945, melalui Jenderal Kumakichi Harada, Jepang mengumumkan bahwa BPUPKI (Bada Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah dibentuk dan diresmikan pada tanggal 29 April 1945, dengan harapan Rakyat Indonesia bersimpati dan mau membatu Jepang untuk melawan Sekutu.
Pada tanggal 6 Agustus 1945, Kota Hirosima dibom atom oleh tentara Sekutu (Amerika Serikat), sehingga mulai menurunkan semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Pada hari berikutnya (7 Agustus 1945) BPUPKI dibubarkan dan diganti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tanggal 9 Agustus 1945, tentara Sekutu kembali mengebom Jepang di Kota Nagasaki, sehingga membuat Jepang menyerah kepada Sekutu. Momen ini lah yang digunakan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Walaupun BPUPKI dan PPKI bentukan Jepang, bukan berarti kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Jepang. Sejak awal perjuangan para pahlawan untuk kemerdekaan sangat membara dan benar-benar dari hati nurani. Apa lagi niat Jepang memerdekakan Indonesia tidak murni untuk kemerdekaan, namun ada maksud tertentu. Walaupun demikian semangat Tokoh Nasional Indonesia tetap semangat dan berusaha sekeras mungkin untuk mewujudkannya.
Pada tanggal 9 Agustus 1945, Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI terbang ke Dalat (Ibu Kota Provinsi Lam Dong di Vietnam) untuk bertemu Mardekal Terauchi. Sementara itu di Indonesia pada tanggal 10 Agustus 1945, Sultan Syahrir telah mendengar kabar lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Para Pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Mereka juga menolak bahwa kemerdekaan Republik Indonesia yang diberikan sebagai pemberian Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, mengatakan kepada Sokarno, Hatta , dan Radjiman, bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan serta proklamasi kemerdekaan dapat segera dilaksanakan dalam beberapa hari, berdasarkan PPKI. Meskipun demikian, Jepang tetap menginginkan bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 24 Agustus 1945.
Pada 14 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Radjiman kembali ke Indonesia dari Dalat. Sultan Syahrir mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan ia menganggap bahwa pertemuan di Dalat merupakan tipu mislihat Jepang dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis yaitu, antara kubu pro dan anti Jepang.
Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang. Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.
Sepulang dari rumah Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Peristiwa Rengas Dengklok
Peristiwa Rengas Dengklok adalah peristiwa penculikan terhadap Ir. Soekarno dan Moh. Hatta yang dilakukan oleh sejumlah pemuda antara lain Chairul Saleh, Wikana, Soekarni, dan lain lain. Peristiwa Rengasdengklok merupakan kejadian penting yang mendorong percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kejadian ini juga menunjukkan konflik dan perbedaan pendapat antarkelompok, terutama golongan tua dan golongan muda dalam menentukan waktu proklamasi.
Namun, konflik tersebut berakhir dengan sikap saling menghargai di antara mereka. Tanpa peran golongan muda, Indonesia mungkin belum memproklamasikan secepat itu. Hal itu menunjukkan bahwa para pemuda Indonesia mampu merespon keadaan secara sigap. Para pemuda pun tetap menghormati golongan tua, dengan tetap memerhatikan para tokoh yang perlu dihormati.
Para pemuda berpendapat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan oleh kekuatan bangsa sendiri, bukan oleh PPKI. Menurut mereka, PPKI adalah buatan Jepang.
Pada Rabu, 15 Agustus 1945 sekitar jam 20.00, para pemuda mengadakan pertemuan di sebuah ruangan di belakang Laboratorium Biologi Pegangsaan Timur 17 (sekarang FKM UI). Pertemuan dihadiri oleh Chaerul Saleh, Darwis, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit Sunyoto, Abubakar, E. Sudewo, Wikana, dan Armansyah. Pertemuan yang dipimpin Chairul Saleh tersebut memutuskan bahwa,
Kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantung-gantungkan pada orang atau kerajaan lain. Untuk menyatakan bahwa Indonesia sudah sanggup merdeka, dan sudah tiba saat merdeka, baik menurut keadaan atau kodrat maupun histroris. Dan jalannya hanya satu, yaitu dengan proklamasi kemerdekaan oleh bangsa Indonesia sendiri, lepas dari bangsa asing, bangsa apapun juga.
Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan. Sebaliknya diharapkan diadakannya perundingan dengan Soekarno dan Hatta agar mereka diikutsertakan menyatakan Proklamasi mengingat usaha Sutan Syahrir belum berhasil.
Untuk menyampaikan hasil putusan Perundingan Pegangsaan ini kepada Soekarno, maka pada pukul 22.00 Wikana dan Darwis datang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur 56. Namun Soekarno tetap pada pendiriannya bahwa Jepang masih berkuasa secara de facto. Soekarno bahkan mengingatkan bahwa musuh mereka bukan lagi Jepang, tetapi Belanda yang pasti segera datang setelah Jepang menyerah.
Akhirnya, pada pukul 24.00 para pemuda meninggalkan kediaman Soekarno. Akibat perbedaan tersebut, mereka langsung mengadakan pertemuan di Jl. Cikini No. 71 Jakarta. Rapat memutuskan, seperti diusulkan Djohar Nur, rencana mengamankan Sukarno dan Moh. Hatta pun disepakati. Shodanco Singgih ditunjuk untuk memimpin pelaksanaan rencana tersebut.
Pada dini hari sekitar pukul 03.00 kelompok yang diberi tugas mengamankan Soekarno melaksanakan tugasnya. Singgih meminta Bung Karno ikut kelompok pemuda malam itu juga. Bung Karno tidak menolak keingingan para pemuda dan minta agar Fatmawati, Guntur yang waktu itu berusia sekitar delapan bulan, serta Moh. Hatta ikut serta.
Menjelang subuh, sekitar pukul 04.00 tanggal 16 Agustus 1945 mereka segera menuju Rengasdengklok. Perjalanan ke Rengasdengklok dengan pengawalan tentara PETA dilakukan sesudah makan sahur, sebab waktu itu memang Bulan Ramadhan.
Sesampainya di Rengasdengklok, Ir. Soekarno dan rombongan ditempatkan di rumah seorang keturunan Tionghoa Djiaw Kie Siong. Beliau adalah seorang petani kecil keturunan Tionghoa yang merelakan rumahnya ditempati oleh para tokoh pergerakan tersebut. Rumah Djiaw Kie Siong berlokasi di RT 001/09 Nomor 41 Desa Rengasdengklok Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Para pemuda berharap tanggal 16 Agustus 1945 itu Bung Karno dan Bung Hatta bersedia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan. Ternyata Soekarno tetap pada pendiriannya. Soekarno tidak memenuhi ultimatum para pemuda yang menginginkan proklamasi kemerdekaan tanggal 16 Agustus. Namun, para pemuda inipun tidak memaksakan kehendak. Mereka mengamankan kedua tokoh itu agar bisa berdiskusi secara lebih bebas, dan sedikit memberikan tekanan tanpa bermaksud menyakiti kedua tokoh.
Pada 16 Agustus 1945, semestinya diadakan pertemuan PPKI di Jakarta, tetapi Soekarno dan Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Soebarjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Setelah bertemu Yusuf Kunto dan kemudian Wikana terjadilah kesepakatan, Ahmad Soebarjo diantar ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Mereka tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB.
Kemudian Ahmad Soebarjo berbicara kepada para pemuda dan memberikan jaminan, bahwa proklamasi akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus sebelum pukul 12.00. Akhirnya, Shodanco Subeno mewakili para pemuda melepas Ir. Soekarno, Drs. Moh.Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta, maka berakhirlah Peristiwa Rengasdengklok.
Sekilas Tentang Rengas Dengklok
Para pemuda memilih Rengasdengklok sebagai tempat membawa Soekarno dan Moh. Hatta dengan pertimbangan bahwa daerah itu relatif aman. Hal itu karena ada PETA di Rengasdengklok yang hubungannya sangat baik dengan Jakarta. Para pemuda menyadari bahwa Soekarno dan Moh. Hatta adalah tokoh penting sehingga keselamatannya harus dijaga. Jarak Rengasdengklok sekitar 15 km dari Kedunggede, Kerawang.
Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan yang letaknya sekitar 20 km arah utara Karawang, Jabar yang letaknya di sisi Sungai Citarum, daerah yang merupakan lumbung beras Karawang pada zaman pendudukan Jepang. Rengasdengklok juga dijadikan asrama PETA di bawah Purwakarta, karena letaknya yang dekat pantai dan berdekatan dengan Jakarta serta memiliki hubungan langsung dengan Dai dan PETA di Jagamonyet Rengasdengklok.
Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.
Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik.
Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri.
Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut.
Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Isi Teks Proklamasi Indonesia
Terdapat dua jenis teks Proklamasi Indonesia. Pertama adalah Teks Klad (teks proklamasi yang merupakan tulisan tangan Soekarno) dan Teks Proklamasi Otentik (merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik).
Naskah Proklamasi Klad
Teks naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Adapun yang merumuskan proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia terdiri dari Tadashi Maeda, Tomegoro Yoshizumi, S. Nishijima, S. Miyoshi, Mohammad Hatta, Soekarno, dan Achmad Soebardjo.
Para pemuda yang berada di luar meminta supaya teks proklamasi bunyinya keras. Namun Jepang tak mengizinkan. Beberapa kata yang dituntut adalah "penyerahan", "dikasihkan", diserahkan", atau "merebut". Akhirnya yang dipilih adalah "pemindahan kekuasaan". Setelah dirumuskan dan dibacakan di rumah orang Jepang, isi proklamasi pun disiarkan di radio Jepang.
Berikut gambar teks proklamasi klad atau tulisan Ir Soekarno tersebut:
Naskah Proklamasi Klad ini ditinggal begitu saja dan bahkan sempat masuk ke tempat sampah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. B.M. Diah menyelamatkan naskah bersejarah ini dari tempat sampah dan menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari, hingga diserahkan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha pada 29 Mei 1992.
Teks/Naskah Proklamasi Otentik
Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut :
Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".)